PALEMBANG, BS.COM - Sektor jasa konstruksi merupakan salah satu sektor strategis dalam mendukung tercapainya pembangunan nasional, jasa konstruksi juga memiliki keterkaitan dengan sektor lainnya dalam membentuk mata rantai produk konstruksi sehingga menjadi pertemuan antara penyedia jasa dan pengguna jasa konstruksi.
Karenanya, industri jasa konstruksi semakin hari akan mengalami perkembangan yang sangat pesat dalam pembangunan dan penyerapan keuangan negara atau daerah.
Adapun, penyelenggaraan jasa konstruksi saat ini diatur melalui Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, yang menggantikan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi," demikian disampaikan Ketua LPJK Provinsi Sumatera Selatan Sastra Suganda, Minggu (15/11/2020) di Palembang.
Ketua LPJK Sumsel juga menuturkan, bahwasanya apabila dicermati, maka terjadi perubahan, penambahan, dan/atau penyempurnaan UndangUndang Jasa Konstruksi ini yang membawa perubahan yang besar dalam sistematika maupun materinya.
Seperti pengertian dan ruang lingkup jasa konstruksi, asas-asas, tujuan penyelenggaraan, tanggungjawab dan kewenangan, jenis usaha konstruksi, sifat, klasifikasi, dan layanan usaha, bentuk dan kualifikasi usaha, segmentasi pasar jasa konstruksi, persyaratan usaha, keahlian, dan keterampilan jasa konstruksi, badan usaha jasa konstruksi asing dan usaha perseorangan jasa konstruksi asing, pengembangan usaha jasa konstruksi, pengembangan usaha berkelanjutan, pihak dalam pekerjaan konstruksi, pemilihan penyedia jasa, kontrak kerja konstruksi, penyedia jasa dan sub-penyedia jasa, pembiayaan jasa konstruksi, standar keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan, kegagalan bangunan, Judicial Review penilai ahli, jangka waktu dan pertanggungjawaban kegagalan bangunan, tenaga kerja konstruksi, peran masyarakat, pembinaan, penyelesaian sengketa, dan sanksi. Perubahan dimaksud membawa pula perubahan mengenai paradigma kelembagaan sebagai wujud dari keikutsertaan masyarakat dalam penyelenggaraan jasa konstruksi
"Maka bila dilihat dari perspektif kelembagaan dan partisipasi masyarakat ini, setidaknya ada 2 hal yang perlu disoroti," tegas Ketua LPJK Provinsi Sumsel.
Bahwa, pertama paradigma Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) versi Pasal 84 sampai dengan Pasal 89 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017, yang akan diatur lebih lanjut oleh peraturan menteri. Dan, kedua, ketentuan mengenai pembentukan LPJK versi Pasal 103 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 melalui Peraturan Menteri harus mencermati ketentuan Pasal 105 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017.
Selain menyangkut partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan jasa konstruksi, kedua hal tersebut disoroti agar kiranya secara formalitas dan prosedur administrasi hukum tidak bertentangan dengan ketentuan yang berlaku, dalam hal ini ketentuan Pasal 105 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017.
Maka untuk itu, para Ketua LPJK di 16 Provisnsi yang terdiri dari ; LPJK Sumsel, LPJK Gorontalo, LPJK Sulteng, LPJK Kaltim, LPJK Papua Barat, LPJK Jawa Timur, LPJK Babel, LPJK Sulsel, LPJK Jambi, LPJK Aceh, LPJK Bengkulu, LPJK Kaltim, LPJK Lampung, LPJK Banten,LPJK Jabar dan LPJK NTT sepakat menunjuk NOVRIANSYAH,S.H.,M.H., ALISAN, S.H.,M.Si.,M.H., PASTEN HARD, S.H Advocate dan Legal Consultant pada NBP Law Office sebagai kuasa hukum.
Setelah sebelumnya menandatangani Surat Kuasa Khusus tanggal 02 Oktober 2020. Maka selanjutnya secara keseluruhan 16 ketua LPJK Provinsi alias para pemohon mengajukan permohonan kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk melakukan Pengujian Perihal Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 9 Tahun 2020 Tentang Pembentukan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Terhadap Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi.
Kiranya hal tersebut perlu dikaji dikarenakan sejauhmana partisipasi dimaksud dapat tersalurkan secara demokratis dan sehingga kelembagaan tersebut bersifat bottom-up, atau justeru lebih bersifat top-down dikarenakan kuatnya dan lebih dominannya unsur atau peran pemerintah dalam proses pembentukan, kedudukan strukturalnya, pembiayaannya, serta kepengurusannya.
Hal ini akan memberi jawaban secara normatif atas rumusan yang terdapat di dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 mengenai perubahan paradigma kelembagaan sebagai bentuk keikutsertaan masyarakat dalam penyelenggaraan jasa konstruksi. Secara umum dapat dikatakan bahwa dalam hal terjadi perubahan, penambahan, pengurangan, dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan,
Maka norma yang harus diperhatikan adalah ketentuan yang terdapat di dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pada angka (237) yang menyebutkan bahwa suatu peraturan perundang-undangan mengakibatkan (a) sistematikannya berubah, (b) materi muatannya berubah lebih dari 50 persen, dan (c) esensinya berubah, maka peraturan perundangundangan yang diubah tersebut lebih baik dicabut dan disusun kembali dalam peraturan perundang-undangan yang baru mengenai masalah tersebut.
"Memperhatikan perubahan, penambahan, pengurangan, dan/atau penyempurnaan terhadap Undang-Undang Jasa Konstruksi sebelumnya (Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999), maka sebetulnya telah terjadi penggantian Undang-undang Jasa Konstruksi (Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999) dengan Undang-Undang Jasa Konstruksi yang baru (UndangUndang Nomor 2 Tahun 2017," tambahnya. (Jepri)
Posting Komentar
0Komentar